Sebagai seseorang yang menghabiskan cukup banyak waktu di internet, saya sering sekali mendapat pertanyaan mengenai apa jenis game favorit saya. Saya selalu menjawab game favorit saya adalah game dengan cerita yang bagus. Lucunya, komentar dari orang-orang hampir selalu berbeda. Jika saya berbicara dengan sesama gamer dari Indonesia, otomatis mereka akan merespon dengan kata-kata “ooh RPG ya”.
Lain halnya jika saya mengobrol dengan gamer dari daerah barat seperti Amerika dan Eropa yang saya temui di forum atau bagian komentar website gaming, biasanya mereka akan merelasikan game yang saya maksud dengan genre adventure seperti The Secret of Monkey Island, Grim Fandango, atau game-game buatan Telltale Games atau Quantic Dreams. Tidak berhenti di situ saja, jika saya menjawab hal yang sama kepada komunitas anime atau orang Jepang, banyak dari mereka yang mengartikan jawaban saya sebagai genre visual novel, meskipun kasus ini tidak terlalu sering terjadi karena banyak juga fans anime atau orang Jepang yang menikmati cerita dari game-game RPG.
Hal ini jujur membuat saya cukup kagum, sebuah kalimat yang saya gunakan untuk mendeskripsikan game favorit saya bisa diartikan dengan berbagai makna dari orang-orang yang berbeda. Hal ini membuat saya berpikir mengenai perbedaan-perbedaan di dunia game yang didasari oleh budaya atau lingkungan sekitar. Beberapa hal yang biasanya paling sering memicu perbincangan tentang perbedaan preferensi berdasarkan daerah atau budaya antara lain:
–       Art direction
Gaya visual atau art direction merupakan hal yang paling mudah dilihat untuk membedakan asal serta pangsa pasar sebuah game. Biasanya game-game yang dibuat dan ditargetkan untuk daerah timur memiliki gaya visual seperti manga atau manhwa. Sedangkan untuk daerah barat, gaya visualnya mungkin lebih identik dengan gaya komik dan animasi barat sendiri.
Setiap daerah juga biasanya memiliki stereotype negatif terhadap daerah lain, seperti misalnya gamer barat yang menganggap game dari daerah timur semuanya memiliki karakter (terutama karakter wanita) yang over-sexualized. Hal ini tentunya tidak berlaku ke seluruh game yang berasal dari timur, meskipun ada beberapa contoh seperti beberapa karakter dalam game Dragon’s Crown, atau tokoh Quiet yang muncul dalam trailer Metal Gear Solid V.
Dragons Crown | Screenshot 1
Promotional image dari Dragon’s Crown
Seperti gamer barat banyak yang memiliki stereotype negatif terhadap game-game timur, maka gamer timur pun juga memiliki stereotype tersendiri terhadap game-game dari barat. Bahkan game developer pun ada yang terjebak dengan stereotype ini, contohnya seperti Square Enix dengan seri Nier mereka. Square Enix merilis dua game untuk seri Nier, yaitu Nier Gestalt dan Nier Replicant. Menurut developer game ini sendiri, perbedaan dari kedua game ini adalah dari segi estetika saja, hal ini bisa dilihat dengan mudah dari design karakter utama kedua game. Nier Gestalt yang dirilis untuk Xbox 360 dan PS3 memiliki design karakter yang terkesan macho dan betul-betul mewakili lambang maskulinisme yang biasa kita lihat di komik atau animasi barat. Di lain pihak, Nier Replicant memiliki design karakter yang lebih ramping, muda, dan terkesan bishounen (istilah dari Jepang untuk menyebut lelaki tampan) layaknya tokoh-tokoh manga atau anime. Developer game ini juga terang-terangan menyatakan bahwa dua design karakter yang berbeda dibuat karena mereka percaya Nier versi lebih muda dapat menarik perhatian orang Jepang dengan lebih mudah, sedangkan Nier versi macho bisa dengan lebih mudah menarik perhatian gamer barat.
Nier Replican Gestalt
Perbandingan design karakter Nier Gestalt dan Nier Replicant
Seri Nier hanyalah satu dari sekian banyak fenomena perbedaan art direction berdasarkan pangsa pasar game. Masih banyak game-game yang memiliki art direction yang mengikuti stereotype dari developer mengenai gamer yang menjadi target mereka.
–       Western RPG vs Japanese RPG
Penggemar genre Role-Playing Game (RPG) tentunya sering sekali mendengar atau membaca perdebatan mengenai RPG yang di develop di barat, atau biasa disebut Western RPG (WRPG), dengan RPG yang di develop Jepang, atau biasa dikenal dengan sebutan Japanese RPG (JRPG). Setiap game berskala besar dari masing-masing kubu dirilis, pembahasan mengenai perbedaan dua sub-genre ini akan sangat mudah ditemukan. Wajar jika perbedaan sub-genre ini selalu menjadi topic yang hangat, hal tersebut dikarenakan perbedaan yang ada dalam dua sub-genre ini sangatlah banyak sampai banyak yang menganggap JRPG dan WRPG bukanlah genre yang memiliki akar yang sama.
Hal paling pertama yang bias dilihat dari perbedaan dua sub-genre ini tentu saja dari segi visual. Ini berhubungan erat dengan pembahasan di atas mengenai art direction. Penggambaran karakter dalam JRPG biasanya lebih fantasi dan cartoony dibandingkan dengan WRPG. Contoh paling mudah bisa dilihat dari Cloud Strife, protagonis Final Fantasy VII yang berpostur tubuh kecil, memegang senjata yang super besar, dan memiliki gaya rambut yang bisa dibilang fantastis. Jika dibandingkan dengan karakter utama game WRPG seperti The Witcher, cukup wajar jika banyak orang yang bilang kalau JRPG lebih ditargetkan untuk remaja dan WRPG untuk pasar yang lebih dewasa.
JRPG vs WPRG
Selain desain karakter, perbedaan signifikan lainnya bisa dilihat dari gameplay. Jika kebanyakan WRPG memiliki gameplay open-world, maka mayoritas JRPG memiliki gameplay yang cukup linear. Dari sisi battle, JRPG biasanya lebih membutuhkan perancangan strategi yang matang dibandingkan dengan kecekatan tangan dan reflex. Namun beberapa JRPG sekarang mulai mengubah gameplay mereka menjadi lebih dinamis dan melahirkan sub-genre baru yang disebut Action RPG, sedangkan WRPG mulai mengkombinasikan gameplay dinamis mereka dengan gameplay penuh strategi seperti yang bias kita lihat pada seri Dragon Age buatan developer Bioware.
Gameplay open-world yang biasa kita jumpai pada WRPG tentu saja memberikan appeal tersendiri yang mengalahkan gameplay linear yang biasa kita jumpai di JRPG. Namun system open-world ini membuat WRPG banyak memiliki cerita yang kurang kuat dibandingkan dengan cerita yang biasa ditemukan pada JRPG. Hal inilah yang menyebabkan masih banyak gamer yang setia pada genre JRPG meskipun WRPG dapat menawarkan pengalaman bermain yang sangat luas.
–       Dudebro vs Weeaboo
Fenomena-fenomena perbedaan preferensi inipun akhirnya melahirkan sebuah istilah yang bisa dibilang cukup mengejek gamer dengan preferensi tertentu. Istilah yang saya maksud adalah istilah dudebro dan weeaboo. Dudebro adalah sebutan untuk gamer yang senang dengan game-game shooter yang popular sekali beberapa tahun terakhir. Istilah dudebro sendiri bisa dibilang ekuivalen dengan istilah redneck yang digunakan sebagai konotasi negatif untuk orang kampung di Amerika. Redneck dan dudebro sering dianggap sama karena mereka digambarkan sebagai orang-orang yang senang dengan tokoh-tokoh yang memiliki design over-sexualized (baik karakter pria maupun wanita) dan senang sekali dengan efek-efek ledakan dalam film atau game. Dudebro biasanya diidentikkan dengan seri game shooter popular, Call of Duty.
Weeaboo sendiri adalah istilah yang digunakan untuk menyebut orang-orang yang sangat menggemari hal-hal yang berbau Jepang. Banyak orang yang menyamakan weeaboo dengan otaku, namun sebenarnya weeaboo bisa dibilang sebagai versi hardcore dari otaku. Weeaboo biasa diidentikkan dengan kefanatikan terhadap design karakter moe serta segala hal berbau Jepang.
Sebetulnya masih banyak sekali topik-topik perdebatan yang biasanya dipicu dari preferensi game berdasarkan daerah asal maupun budaya. Namun saya rasa tiga poin yang saya bahas di atas cukup dapat mewakilkan topic yang paling hangat dan mudah ditemukan dimana-mana. Apakah kamu pernah terlibat dalam perbincangan-perbincangan seperti ini? Kalau pernah, share aja lewat komentar di bawah.